15 April 2009

RESUME RAPAT KERJA SEKSI PENDAYAGUNAAN BAZ KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA. BAGIAN-I

1. Seksi Pendayagunaan BAZ Kutai Kartanegara :

Definisi pendayagunaan:
Pendayaagunaan adalah pengusahaan agar mendatangkan hasil

Definisi Pendayagunaan BAZ Kabupaten Kutai Kartanegara :
Memanfaatkan dana infaq dan shadaqah untuk kegiatan usaha produktif melalui program “dana bergulir” kepada orang yang telah memenuhi syarat-syarat administratif dan non teknis yang telah ditetapkan oleh BAZ Kabupaten Kutai Kartanegara.

Pengertian Zakat Dan Perbedaannya Dengan Infaq dan Shadaqah

Secara Bahasa (lughat), berarti : tumbuh; berkembang dan berkah atau dapat pula berarti membersihkan atau mensucikan. Sedangkan menurut terminologi syari'ah (istilah syara'), zakat berarti kewajiban atas harta atau kewajiban atas sejumlah harta tertentu untuk kelompok tertentu dalam waktu tertentu.
Sementara pengertian infaq adalah mengeluarkan harta yang mencakup zakat dan non zakat. Infaq ada yang wajib dan ada yang sunnah. Infaq wajib diantaranya zakat, kafarat, nadzar, dll. Infak sunnah diantara nya, infak kepada fakir miskin sesama muslim, infak bencana alam, infak kemanusiaan, dll.
Adapun Shadaqoh dapat bermakna infak, zakat dan kabaikan non materi. Dalam hadits Rasulullah SAW memberi jawaban kepada orang-orang miskin yang cemburu terhadap orang kaya yang banyak bershadaqoh dengan hartanya, beliau bersabda : "Setiap tasbih adalah shadaqoh, setiap takbir shadaqoh, setiap tahmid shadaqoh, setiap tahlil shadaqoh, amar ma'ruf shadaqoh, nahi munkar shadaqoh dan menyalurkan syahwatnya pada istri shadaqoh". Dan shadaqoh adalah ungkapan kejujuran ( shiddiq ) iman seseorang.
Selain itu, ada istilah shadaqah dan infaq, sebagian ulama fiqh, mengatakan bahwa sadaqah wajib dinamakan zakat, sedang sadaqah sunnah dinamakan infaq. Sebagian yang lain mengatakan infaq wajib dinamakan zakat, sedangkan infaq sunnah dinamakan shadaqah.
Dalam konteks di atas, BAZ Kabupaten Kutai Kartanegara sebagai pasilitator berupaya untuk se-selektif mungkin dalam mendayagunakan dana ZIS serta tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip syariah.
Untuk menghindari masalah khilafiah, BAZ Kabupaten Kutai Kartanegara membagi pemanfaatan ZIS dalam dua bagian, yaitu:
A. Dana Zakat.
Pendayagunaan dana zakat untuk 6 ashnaf dengan 3 kategori :

1. Fakir miskin
2. Mualaf, ghorimin, Ibnu sabil
3. Fi Sabilillah.
• Riqab tidak ada dan Amilin diganti APBD.
Konsep dasar pendayagunaan ZIS adalah bagaimana mengubah mustahik menjadi muzakki, dalam arti :

• Mengubah Orang miskin menjadi mampu (Fakir, Miskin),
• Mengubah Orang bodoh menjadi pintar (Ibnu Sabil).
• Mengubah Orang terbelenggu menjadi bebas (Muallaf, Ghorimin, dan Fi Sabilillah)


B. Dana Infaq/Shadaqah.

• Khusus untuk dana bergulir

Pengertian :
Dana Bergulir adalah bantuan dalam bentuk pemberian pinjaman modal usaha yang dananya dialokasikan khusus dari infaq dan shadaqah untuk disalurkan pada seorang atau suatu lembaga atau kelompok masyarakat agar dikelola oleh orang atau lembaga atau kelompok masyarakat tersebut dalam bentuk ekonomi produktif.

Di tengah situasi ekonomi yang masih bergelombang membuat tak semua usaha bisa bertahan dalam menghadapi krisis yang terjadi. Sektor usaha kecil dan menengah yang menyerap cukup banyak tenaga kerja pun harus turut diperhatikan kelangsungan usahanya agar tak berada di ambang kebangkrutan.

Dalam menghadapi kondisi riskan tersebut, Badan Amil Zakat (BAZ) Kabupaten Kutai Kartanegara memiliki program pemberian subsidi dana bergulir bagi pemilik modal kecil/lemah yang dialokasikan khusus dari dana infaq dan shadaqah.

Penyaluran dana bergulir ini dilakukan dalam bentuk pemberian subsidi modal usaha kepada mustahik secara langsung yang diharapkan hasilnya dapat mengangkat taraf kesejahteraan mustahik itu sendiri.
Sesuai peruntukannya, dana bergulir ini dibentuk adalah khusus untuk mengupayakan perbaikan kesejahteraan dan pemberdayaan ekonomi umat.
Dalam hal ini BAZ Kabupaten Kutai Kartanegara mengkhususkan program subsidi dana bergulir tersebut untuk :
1. Usaha ekonomi kecil lemah ( UEKL)
2. Usaha ekonomi kecil produktif ( UEKP )
3. Usaha ekonomi nyaris bangkrut ( UNEB )
4. Usaha ekonomi terdesak karena utang ( UETKU )
5. Usaha ekonomi Kekurangan modal ( UEKM )

2. Ciri–ciri khusus.

a. Non profit orientied
b. Social morality (muslim)
c. Sangat terikat hukum agama.

3. Mekanisme dan persyaratan.
- Setiap mustahiq yang ingin menggunakan subsidi dana bergulir wajib mengisi daftar formulir dan membuat pernyataan serta mentaati segala ketentuan yang dibuat oleh BAZ Kabupaten Kutai Kartanegara. Dengan cara mengajukan permohonan melalui seksi pendayagunaan yang kemudian ditindaklanjuti langsung dengan mengadakan penelitian persyaratannya.
- Setelah dianggap memenuhi syarat, tim verifikasi turun kelapangan untuk mensurvey dan mengkaji keadaan calon pengguna subsidi dana bergulir tersebut. (sesuai atau tidaknya dengan keterangan yang diberikan).
- Hasil yang didapat dari survey tim verifikasi dilapangan tersebut diangkat dalam rapat tim pendayagunaan untuk dipertimbangkan (apakah calon penerima subsidi dana bergulir itu, termasuk dalam katagori yang dimaksud oleh BAZ Kabupaten Kutai Kartanegara)
- Dari hasil rapat tim pendayagunaan ini nantinya , akan diserahkan lagi kepada Koordinator untuk diketahui serta disampaikan kepada ketua.
- Dan yang terakhir, Koordinator memberikan masukan kepada Ketua berupa hasil yang didapat dari tim tentang keadaan dan kondisi riil calon penerima subsidi dana bergulir tersebut, untuk persetujuan .( disalurkan atau tidaknya subsidi dana bergulir kepada calon pengguna)
• Perlu diketahui,untuk proses ini memakan waktu sekitar 2 minggu lamanya. dan
• Pengadministrasian keuangannya dipisahkan dari pengadministrasian keuangan zakat.

RESUME HASIL RAPAT SEKSI PENDISTRIBUSIAN BAZ KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA

I. SEKSI PENDISTRIBUSIAN

Distribusi ZIS : adalah Menyalurkan ZIS kepada pihak-pihak yang dipandang berhak menerima ( Mustahiq) , baik perorangan maupun atas nama kolektif (proposal).setelah melalui proses seleksi.


A. Tugas Pokok Seksi Pendistribusian.
1. Melakukan pendataan ( Menerima dan menyeleksi ) calon mustahiq perorangan maupun atas nama kolektif /lembaga dengan menjalin kerjasama dengan instansi yang berkompeten (Kantor statistik, Camat, Lurah/Kades, dan Ketua RT.)
2. Melakukan kegiatan pendistribusian ZIS secara rutin sesuai dengan keberadaan mustahiq.
3. Melakukan penelaahan dan menyiapkan serta memberikan bantuan emergency dalam hal adanya musibah yang dialami oleh ummat.
4. Mengelola system pendataan dan pelaporan sesuai dengan perkembangan teknologi infornasi baik yang ada saat ini maupun masa yang akan .


B. Uraian Tugas Seksi Pendistribusian.

1. Merancang format pendataan keluarga muslim yang fakir dan miskin. bekerjasama dengan Ta’mir Masjid / Musholla, Lurah/Kades, dan Ketua RT dan Kepala KUA.
2. Melakukan pendataan TK/TP Al-Qur’an bekerjasama dengan Kepala KUA/BAZ Kecamatan,untuk menyalurkan bantuan berupa buku Iqra’ dan Buku Tajwid praktis kepada TK/TP Al-Qur’an yang ada tersebut.
3. Menyusun persyaratan administratif bagi yang ingin mengajukan bantuan.
4. Menyusun rancangan standar nilai bantuan untuk; perorangan, kegiatan pembangunan fisik, kegiatan panitia/ormas, bencana/musibah alam. Sesuai skala prioritas.
5. Memeriksa persyaratan administratif bagi yang mengajukan bantuan dan melakukan pengecekan lapangan (interview).
6. Memberikan telaahan kepada ketua untuk memberikan keputusan dibantu atau tidaknya permohononan, termasuk besarnya jumlah bantuan.
7. Melakukan pengecekan lapangan terhadap kejadian bencana/musibah alam.
8. Membeli keperluan logistik (atau yang lainnya) untuk bantuan bencana / musibah alam dan menyalurkannya se-segera mungkin.
9. Melakukan pelaporan secara rutin (bulanan dan Tahunan).

II. MUSTAHIQ

Mustahiq adalah : Orang yang berhak menerima zakat. Mustahik terdiri dari 8 asnaf yaitu Fakir, Miskin, Amil, Mu’allaf, Riqab, Ghorim, Sabilill dan Ibnu Sabil. Dalam Itma ”Tim Syar’i, dari 8 asnaf tersebut dikelompokkan menjadi 3 yakni, yang pertama adalah Dhua’afa, yang terdiri dari Fakir, Miskin, Rigab, Gharim yang berhak 50% dari jumlah zakat terkumpul. Yang kedua Sabilillah yang terdiri dari Mu’allaf, Sabilillah dan Ibnu Sabil, berhak mendapatkan 40% dari zakat yang terkumpul. Dan yang ke tiga adalah Amil atau pengurus yang berhak 10% dari zakat yang terkumpul.

III. KEGIATAN PENDISTRIBUSIAN
Pendistribusian dana zakat pada BAZ Kabupaten Kutai Kartanegara dilakukan dengan terlebih dahulu membuat anggaran pengeluaran untuk masing–masing asnaf.dengan memperhatikan skala prioritas dalam pendistribusian nya.
Anggaran ini bersifat fleksibel, artinya bisa saja lebih besar atau lebih kecil dibandingkan pengeluaran sesungguhnya. Hal ini terjadi akibat ketidak mungkinan dalam memproyeksi kebutuhan dana zakat untuk asnaf disetiap bulannya. Atau dengan kata lain pendistribusian dana zakat pada BAZ Kabupaten Kutai Kartanegara dilakukan dengan cara menyerahkan dana zakat sesuai dengan Keadaannya.

1. Bersifat Darurat :

merupakan santunan yang diberikan untuk membebaskan mustahiq zakat dari belenggu kesulitan hidup yang membutuhkan dana segera dan cukup besar seperti biaya yang berkaitan dengan pengobatan,atau untuk tagihan biaya sekolah, atau orang yang terlantar dinegeri orang dan ia berkeinginan untuk pulang dengan syarat perjalanannya itu perjalanan mubah, bukan karena maksiat(Ibnussabil)

2. Bencana / Musibah Alam.
Akibat dari bencana / musibah alam ( Banjir, Kebakaran, dan Lain-lain ) juga berimbas pada masalah sosial, mulai dari masalah pemukiman dan lingkungan, mata pencaharian, kesempatan pendidikan, tingkat kesehatan, pemunduran kegiatan ibadah keagamaan sampai dengan masalah ketersediaan pangan. Disinilah BAZ Kabupaten Kutai Kartanegara dituntut peran yang lebih besar melalui pendistribusian dana zakat yang berhasil dihimpunnya.
3. Kegiatan Kepanitiaan.
Seperti membantu pengurus membangun sarana dan prasarana mesjid dan musholla, serta Kegiatan hari besar Islam, termasuk didalamnya Bantuan untuk TK/TP Al-Qur’an..
4. Kegiatan Rutin peduli Ramadhan.
yaitu dengan membuat kegiatan Pada tiap-tiap bulan Ramadhan dengan anggaran yang berbeda pada tahun yang berbeda. Misalnya, seperti yang sudah dijalankan Pada Bulan Ramadhan Tahun 2006 dan 2007 BAZ Kabupaten Kutai Kartanegara mendistribusikan dana zakatnya untuk kalangan Fakir dan Miskin. Kemudian pada tahun 2008 BAZ Kabupaten Kutai Kartanegara mendistribusikan dana zakatnya untuk para Muallaf.

5. BAZ Kabupaten Kutai Kartanegara turut mendukung Program BAZNAS. Melalui program Food for Work. Yaitu ; memberikan santunan kepada Fakir/Miskin dengan bekerja membersihkan langgar yang ada disekitar tempat tinggalnya.

6. BAZ Kabupaten Kutai Kartanegara turut mendukung Program BAZ Propvinsi Kalimantan Timur. Yaitu;
Membantu Panti Asuhan sebesar Rp.1.000.000,00,- / Bulan.
Memberikan bantuan pendidikan untuk santri MTs sebesar Rp.125.000.00,- / orang.
Memberikan bantuan pendidikan untuk 65orang siswa SD/MI sebesar Rp.312.500,7 / bulan.
Memberikan santunan kepada Muallaf baru sebesar Rp.500.000,00,- / orang.


Permasalahan yang dihadapi

Selama ini bantuan lebih banyak disalurkan kepada pihak yang mengajukan / yang meminta saja sehingga banyak pihak yang tidak mengajukan (belum terdata) tidak pernah mendapatkan bantuan.

Tidak adanya sarana transportasi milik BAZ Kabupaten Kutai Kartanegara ( Mobil ), sehingga sering kali menghambat kegiatan dalam mendistribusikan bantuan. Khususnya bantuan untuk bantuan bencana/musibah alam.



=========0000OOO(@)OOO0000===========

01 April 2009

Resume Hasil Rapat Seksi Pengumpul BAZ Kab. Kutai Kartanegara.

Dengan mayoritas penduduk Muslim yang berjumlah sekitar 94,2% potensi zakat di Kutai kartanegara seharusnya sangat menjanjikan . Namun perolehan zakat di kutai kartanegara baru terserap sekitar 10 % nya saja. Kecilnya zakat yang bisa diraih lembaga amil zakat antara lain disebabkan kepercayaan yang masih rendah masyarakat terhadap badan amil zakat itu sendiri. masyarakat masih belum bisa sepenuhnya menyerahkan zakat kepada badan amil zakat. Mereka cenderung memberikannnya secara langsung kepada masyarakat, akibatnya peranan amil zakat masih belum optimal.
Karena itu badan amil zakat perlu membuat suatu terobosan baru memberikan penerangan yang lebih rinci mengenai badan amil zakat dan zakat tersebut kepada masyarakat sehingga badan amil zakat itu dapat difungsikan dengan lebih baik.
Meski demikian, perzakatan di Kabupaten Kutai Kartanegara dinilai cukup menggembirakan. Ini terlihat dengan makin bertambahnya orang-orang berzakat dan kepercayaan kepada badan amil zakat yang terus meningkat.
PEMBAHASAN
mayoritas masyarakat Kabupaten Kutai Kartanegara memeluk agama Islam. Kenyataan ini menunjukkan bahwa sesungguhnya umat Islam sebagai subjek zakat berpotensi penuh dalam menentukan kualitas hidup umat Islam itu sendiri. Dan secara kultural, sesungguhnya menunaikan ZIS telah berakar kuat dalam tradisi kehidupan bermasyarakat.
SASARAN STRATEGIS
Sesungguhnya amil zakat memiliki 4 (empat) kelompok yang menjadi sasaran strategis dalam upaya penghimpunan dana ZIS, yaitu:
1. Pegawai Negeri Sipil (PNS)

2. Masyarakat

3. Pengusaha

4. Calon jemaah haji

STRATEGI PENGUMPULAN
Berdasarkan karakteristik masyarakat nya, maka seyogyanya amil zakat melakukan upaya memberikan pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan ZIS dan upaya menggali secara optimal sumber-sumber ZIS dari segmen-segmen potensial yang ada:
a. Strategi memilih momen : rutin dan even tertentu;
Untuk pengumpulan ZIS dari para pegawai (PNS) dilakukan secara rutin pada saat mereka menerima pendapatan (gaji) dan pendapatan di luar gaji, melalui petugas operasional.
Pengumpulan ZIS bagi para pejabat dan pengusaha dapat diupayakan dengan melakukan penghimpunan ZIS pada even-even tertentu seperti, Peduli Ramadhan atau Gerakan Amal Sosial dan kegiatan hari-hari besar agama Islam.
Pengumpulan ZIS dari masyarakat berjalan sepanjang tahun melalui formulir yang tersebar ke setiap tingkatan .
b. Strategi memilih metode pendekatan : power umara, ulama dan media;
Pendekatan Power full, yakni dengan menggunakan kekuatan penguasa yakni Bupati untuk memberikan instruksi, seruan dan keputusan kepada seluruh pengusaha dan karyawan untuk mengeluarkan ZIS-nya pada amil pemerintah daerah.
Pendekatan Ulama, cara yang paling efektif adalah ceramah-ceramah yang dilakukan oleh para dai dan mubaliqh dengan memasukkan nilai zakat ke dalam materi dakwahnya, khususnya menjelang hari-hari besar Islam.
Pendekatan Media, bentuk promosi dan iklan tentang amil zakat beserta programnya kepada masyarakat dengan tujuan agar masyarakat dapat mengerti dan memahami bentuk pengelolaan ZIS.
Media sosialisasi dan promosi dapat melalui:
1. Media cetak, seperti harian lokal , brosur, Pamflet, spanduk, baliho, dan lain-lain.
2. Media elektronik, seperti, ceramah agama dan kegiatan keagamaan lainnya di televisi lokal
dan , radio, web site dan email.

c. Strategi memilih metode pembayaran : locket dan bank
Begitu pula dengan metode pembayarannya, yakni dengan membuka loket pembayaran di setiap unit/satuan kerja dan Bank-bank mitra yang ada sehingga memudahkan muzaki dalam menyetorkan ZIS-nya.
Hasil utama kajian ini adalah potensi zakat dan muzakki yang sangat besar namun belum optimal penghimpunannya, sistim pengelolaan zakat masih lamban dan kurang efektif, tingkat pemahaman muzakki tentang peran BAZ masih kurang.
Untuk dapat menjadikan BAZ Kabupaten Kutai Kartanegara lebih produktif dalam pengumpulan dan penyaluran zakat sesuai dengan visi dan misi BAZ Kabupaten Kutai Kartanegara, maka sangat diperlukan strategi pengembangan yang berpusat pada upaya mendorong percepatan perubahan kondisi BAZ Kabupaten Kutai Kartanegara menjadi lebih efisien dan produktif. Strategi yang dapat ditempuh agar BAZ Kabupaten Kutai Kartanegara dapat lebih optimal dalam pemanfaatan potensi muzakki dapat dilakukan dengan :
1) meningkatkan sosialisasi BAZ Kabupaten Kutai Kartanegara baik kepada para muzakki maupun para mustahik,
2) meningkatkan kerjasama dengan lembaga pembina dan ulama dalam manajemen BAZ Kabupaten Kutai Kartanegara
3) pendataan muzakki dan mustahik secara tepat untuk diinformasikan kepada masyarakat.

Strategi
- Standarisasi sistim managemen yang meliputi sandarisasi aturan, standarisasi struktur organisasi dan standarisasi sumber daya manusia, sehingga menjadikan Badan Amil Zakat Kabupaten Kutai Kartanegara sebagai BAZ yang baik dan modern.
-- Bekerjasama dengan seluruh komponen masyarakat seperti pemerintah, organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi dan tokoh-tokoh masyarakat untuk mengupayakan hasil pengumpulan ZIS yang optimal.
- Selalu melakukan inovasi dalam mengembangkan teknik-teknik pegumpulan ZIS dan penyalurannya sehingga BAZ Kabupaten Kutai Kartanegara akan selalu up to date di tengah-tengah masyarakat tanpa meninggalkan ciri utamanya sebagai Lembaga Islam.


---------ooooooo000ooooooo-----------

28 Maret 2009

BADAN AMIL ZAKAT (B.A.Z) KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA.

oleh : Hamlan Mi'raj,S.Pd.I

A. Latar Belakang
Di Indonesia, kemiskinan masih menjadi isu utama pembangunan. Hingga saat ini, pemerintah masih belum mampu mengatasi kemiskinan secara tuntas. penduduk Indonesia Tahun 2008 berjumlah + 230 juta jiwa, 85 % diantaranya adalah Muslim. Berdasarkan beberapa sumber statistik, 42 % dari jumlah penduduk tersebut tergolong miskin. Proporsi ini identik dengan jumlah penduduk miskin yang muslim, dengan kata lain, angka kemiskinan dari penduduk muslim itu masih berada pada kisaran 85%, dan hanya 15 % nya saja yang termasuk golongan “ Berada “.
Oleh karena itu, diperlukan komponen lain yang memiliki potensi sangat besar dalam proses pengentasannya, namun belum mendapat tempat strategis dalam peta pembangunan nasional, yaitu zakat.
Ada beberapa hal yang melandasi dikeluarkannya UU No.38 Th.1999 tentang pengelolaan Zakat di Indonesia :

1. Menimbang bahwa negara Republik Indonesia menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk beribadat menurut agamanya masing-masing;
2. bahwa menunaikan zakat merupakan kewajiban umat Islam Indonesia yang mampu dan hasil pengumpulan zakat merupakan sumber dana yang potensial bagi upaya mewujudkan kesejahteraan rakyat;
3. bahwa zakat merupakan pranata keagamaan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dengan memperhatikan masyarakat yang kurang mampu;
4. bahwa upaya penyempurnaan sistem pengelolaan zakat perlu terus ditingkatkan agar pelaksanaan zakat lebih berhasil guna dan berdaya guna serta dapat dipertanggungjawabkan;

Dalam perspektif Islam, secara tegas telah mensyariatkan adanya zakat yang mewajibkan kepada umat untuk menunaikannya. Syariat zakat ini adalah salah satu rukun Islam yang ketiga diwajibkan kepada setiap muslim dan secara langsung berkaitan dengan perekonomian umat Islam.
Seruan untuk menunaikan zakat, adalah syariat kebenaran dari Allah SWT yang merupakan jalan yang benar untuk mendapatkan ridho dan manfaat dunia dan akhirat.
Syariat zakat pada hakikatnya bertujuan memecahkan persoalan kemiskinan dan kefakiran umat, bahkan menghendaki kemakmuran yang merata bagi keseluruhan umat Islam. Sebagaimana perintah zakat yang tertuang Dalam Q.S.At-Taubah 60 dan 103 Allah mewajibkan untuk mengeluarkan Zakat (dari orang kaya – para muzakki) untuk orang-orang yang berhak menerima( Kaum fakir miskin-para mustahiq).
Jika Firman Allah ini dilaksanakan secara “konsisten, baik dan benar” oleh para muzakki, Insya Allah jumlah penduduk muslim yang miskin itu akan dapat ditekan dari tahun ke tahun.dan keadaan ini Insya Allah menempatkan kaum muslimin sebagai kontributor terbesar dalam sistem pembangunan ekonomi rakyat di Negara Republik Indonesia yang tercinta ini.


B. Permasalahan.
Salah satu permasalahan yang mendasar adalah orientasi pembangunan ekonomi yang kurang berpihak pada golongan berpenghasilan rendah. Kondisi ini tercermin dari konsentrasi industrialisasi berskala menengah ke atas, sehingga sektor ekonomi yang dijalankan oleh sebagian besar masyarakat kurang diperhitungkan. Atau dengan kata lain sistem perekonomian belum sepenuhnya mengimplementasikan ekonomi rakyat sehingga Gap antara si kaya dan si miskin semakin melebar.
Ditambah lagi dengan distribusi penduduk yang tidak merata, (padat didaerah perkotaan) membuat lapangan kerja semakin terbatas, kesempatan kerja semakin kecil, persaingan semakin ketat, sebagian besar masyarakat berbondong-bondong untuk tinggal dikota lantaran lapangan kerja dipedesaan kurang atau sumber daya alamnya semakin menipis. (khususnya di Pulau Jawa).akibatnya, banyak dari mereka yang hidup dalam kondisi serba kekurangan (miskin).
Apalagi dilihat dari kenyataan bahwa umat Islam sebagai penduduk mayoritas di negeri ini. Maka penduduk miskin yang terbanyak adalah juga dari penduduk muslim itu sendiri (meskipun muslim tidak selamanya / semuanya miskin).

C. Inti Permasalahan.
Agama Islam menetapkan sejumlah kewajiban keagamaan dalam rangka penanggulangan kemiskinan. Di antaranya, Islam menjadikan kewajiban mengeluarkan zakat sebagai salah satu dari rukun Islam yang lima. Dari sini dapat dipahami bahwa “keber-agama-an” seorang Muslim tidak akan sempurna tanpa ia menunaikan kewajibannya tersebut. Tugas terkait dalam hal ini ialah bagaimana menumbuhkan kesadaran umat Islam secara merata untuk menjalankan kewajiban keagamaan tersebut.meskipun sudah ada Firman Allah dalam Al-Quran yang memerintahkan kepada semua ummat muslim yang “berada” (para Muzakki) untuk menunaikan Zakat dengan cara memberikan sebahagian dari hartanya kepada kaum fakir-miskin, namun dalam kenyataannya, penunaian zakat belum menyeluruh oleh semua muzakki.
Keadaan tersebut antara lain disebabkan oleh kurangnya pengetahuan atau pemahaman tentang zakat, serta kurangnya kesadaran akan kewajiban menunaikan zakat bagi para muzakki.

D. Kerangka Fikir.
Bicara zakat, yang terpenting dan tidak boleh dilupakan adalah peran para amil zakat selaku pengemban amanah pengelolaannya. Jika amil zakat baik, maka tujuh asnaf mustahik lainnya insya Allah akan menjadi baik. Tapi jika amil zakat-nya tidak baik, maka jangan diharap tujuh asnaf mustahik yang lain akan menjadi baik.Dengan kata lain, hal terpenting dari zakat adalah bagaimana mengelolanya (manajemennya).
Sistem pengelolaan zakat akan berjalan efektif jika lembaga yang berfungsi untuk mengelola zakat tersebut benar-benar telah berjalan secara efektif pula. Oleh karena itu Badan Amil Zakat(B.A.Z.), khususnya Badan Amil Zakat Kabupaten Kutai Kartanegara harus berupaya secara terus menerus untuk meningkatkan kinerjanya, agar pengelolaan Zakat di Kabupaten Kutai Kartanegara ini dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan.

Sekilas Tentang Kabupaten Kutai Kartanegara.
Kutai Kartanegara (bisa juga disingkat: Kukar) merupakan Daerah tingkat II yang berstatus Kabupaten di provinsi Kalimantan Timur.

Kabupaten Kutai Kartanegara memiliki luas wilayah 27.263,10 km² dan luas perairan kurang lebih 4.097 km² yang dibagi dalam 18 wilayah Kecamatan dan 224 Desa/Kelurahan, dengan jumlah penduduk mencapai 547.422 jiwa. (Pertumbuhan 2,23%)

Dibandingkan dengan luas wilayah maka kepadatan penduduk mencapai rata-rata 20,08 jiwa/km2. Penduduk yang bermukim di wilayah ini terdiri dari penduduk asli (Kutai, Benuaq, Tunjung, Bahau, Modang, Kenyah, Punan dan Kayan) dan penduduk pendatang seperti Jawa, Bugis, Banjar, Madura, Buton, Timor dan lain-lain.

Pola penyebaran penduduk sebagian besar mengikuti pola transportasi yang ada. Sungai Mahakam merupakan jalur arteri bagi transportasi lokal. Keadaan ini menyebabkan sebagian besar pemukiman penduduk terkonsentrasi di tepi Sungai Mahakam dan cabang-cabangnya. Daerah-daerah yang agak jauh dari tepi sungai dimana belum terdapat prasarana jalan darat relatif kurang terisi dengan pemukiman penduduk.

Sebagian besar penduduk Kutai Kartanegara tinggal di perdesaan yakni mencapai 85% dan 15% berada di daerah perkotaan. Sementara mata pencaharian penduduk sebagian besar di sektor pertanian 51,58%, industri/dan Pertambangan 14,6 %, Jasa dan perdagangan 26,21 % dan lain-lain 8,61%. Mayoritas penduduk beragama Islam 92,4%, Kristen 6,8% Budha 0,5% dan Hindu 0,3 %.
Secara geografis Kabupaten Kutai Kartanegara terletak antara 115°26'28" BT - 117°36'43" BT dan 1°28'21" LU - 1°08'06" LS dengan batas administratif, diutara dengan Kabupaten Malinau, timur dengan Kabupaten Kutai Timur, Kota Bontang dan Selat Makassar, selatan dengan Kabupaten Pasir, dan barat dengan Kabupaten Kutai Barat.
Bagaimana PELUANG BAZ di Kutai Kartanegara?
Sebagaimana kita pahami bersama bahwa zakat merupakan sumber dana potensial bagi umat Islam yang dapat didayagunakan untuk mengangkat harkat, martabat, dan kesejahteraan umat serta memperkuat sendi ketahanan ekonomi bangsa.
Untuk mewujudkan fungsi zakat yang sangat strategis tersebut maka dibutuhkan sistem kinerja lembaga pengelola atau amil yang profesional, berkompeten, dan amanah.
Profesionalisme di sini menyangkut strategi pengumpulan yang jitu, sistem akuntansi dan manajemen keuangan yang transparan.
dan yang tak kalah pentingnya strategi pendayagunaan zakat itu sendiri yang tepat guna dan berhasil guna.
Setiap LPZ harus memiliki visi dan misi yang jelas. Karna hanya dengan visi dan misi inilah maka aktivitas/kegiatan akan terarah dengan baik.
VISI DAN MISI BADAN AMIL ZAKAT (B.A.Z.)
KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA
VISI :
PENGELOLAAN ZAKAT DITINGKAT KABUPATEN, KECAMATAN DAN DESA / KELURAHAN, BERLANGSUNG EFEKTIF.
MISI :
1. MENINGKATKAN MANAGEMEN BAZ DENGAN MANAGEMEN PARTISIPATIF
2. MEMBERDAYAKAN KELEMBAGAAN BAZ DI KECAMATAN DAN DESA / KELURAHAN
3. MEMBANGUN JARINGAN KERJASAMA KEMITRAAN DENGAN LEMBAGA LAIN ( PEMERINTAH, SWASTA DAN MASYARAKAT ).

Melihat populasi umat Islam di Kabupaten Kutai Kartanegara yang mencapai 92,4% maka idealnya dana zakat yang dikumpulkan dapat benar-benar dioptimalkan untuk pemberdayaan ekonomi umat.
Hal ini berhubungan dengan komitmen yang kuat dari organisasi pengumpul zakat untuk membuat program-program yang inovatif dan kreatif sehingga dari sisi mustahik terasa ada manfaat yang nyata dan dari sisi muzakki akan lebih memberikan kepercayaan terhadap dana zakat yang dikeluarkannya.

Ini akan berpengaruh pada pemerolehan dana zakat yang kian meningkat. Untuk itu, ijtihad-ijtihad yang cerdas dan sesuai syariat dalam bidang zakat mendesak untuk diwujudkan.

PROGRAM-PROGRAM BADAN AMIL ZAKAT (B.A.Z.)
KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA

1. UNTUK MENINGKATKAN MANAGEMEN BAZ, DILAKSANAKAN :

a) Program Bimbingan Penerapan Managemen Partisipatif pada semua fungsi managemen
b) Program Penerapan Transparansi Pengelolaan Keuangan
c) Program Penerapan Sistem Monitoring & Evaluasi secara konsisten dan bertanggung jawab
d) Program Pembinaan Organisasi & Personalia
e) Program Pengelolaan Aset & Inventaris

2. UNTUK MEMBERDAYAKAN KELEMBAGAAN BAZ DI KECAMATAN DAN DESA / KELURAHAN, DILAKSANAKAN :
a) Program Pelatihan Pengurus & Penataan Tanggung jawab pelaksanaan Program BAZ Kec dan Desa.
b) Program Pendampingan Operasional bagi BAZ Kecamatan dan Desa.
c) Program Pengembangan Jaringan Kerja Kabupaten-Kec dan Desa secara proporsional.

3. UNTUK MEMBANGUN JARINGAN KERJASAMA KEMITRAAN DENGAN LEMBAGA LAIN (PEMERINTAH, SWASTA DAN MASYARAKAT), DILAKSANAKAN :
a) Program Pengembangan jaringan kerjasama kemitraan antara :
1. BAZ Kukar dengan Pemerintah Daerah & Jajarannya
2. BAZ dengan Swasta (Perusahaan, Kontraktor, Pedagang Besar/Kecil)
3. Baz dengan Kelompok Swadaya Masyarakat (LSM dan Ormas Islam)
4. Pengembangan Ekonomi Ummat Muslim

STRATEGI
Zakat adalah salah satu pilar dalam Islam. Karenanya cakupan zakat sangat luas dan beragam sesuai dengan perkembangan dinamika masyarakatnya.

Pengelolaan zakat adalah kegiatan lintas-sektoral, multi-disiplin yang menuntut keterlibatan penuh seluruh elemennya baik Muzakki-Amilin-Mustahiq-Pemerintah-maupun Masyarakat.. Karenanya secara teknis tidak akan ada Lembaga yang mampu mengelolanya sendiri, sebesar apapun skala operasional lembaga tersebut.

Mengikuti dinamika masyarakat, di Kabupaten Kutai Kartanegara diperlukan perubahan strategi mengenai bentuk-bentuk pengelolaan zakat. Untuk itu diperlukan Perpanjangan tangan untuk melakukan pendekatan system pada lingkup masyarakat yang terbatas.

STRATEGI YANG DIPERLUKAN AGAR VISI BAZ KUKAR 2009-2011
DAPAT DICAPAI EFEKTIF

1. Menerapkan Managemen Partisipatif.
2. Pendekatan System, khususnya dalam Pengelolaan Zakat di Kab. Kukar
3. Pengembangan Keswadayaan, khususnya dalam pemanfaatan Zakat untuk Program Peningkatan Ekonomi Ummat Muslim.
4. Penerapan Jaringan Kerjasama Kemitraan.

Sebagai bagian dari birokrasi pemerintah, BAZ dapat mengumpulkan ZIS dengan bantuan aparat pemerintah daerah. hingga tingkat kecamatan, kelurahan dan Rukun Tetangga.

peran pemerintah dalam mendorong pengoptimal pengelolaan zakat, tentu perlu regulasi dalam bentuk peraturan yang jelas, serta seruan melalui kebijakan lainnya termasuk di Pemerintah Daerah.

pemerintah harus mempunyai mekanisme untuk mengambil zakat dari orang-orang yang enggan membayarnya.

KEBIJAKSANAAN PEMERINTAH DAERAH YANG DIPERLUKAN UNTUK MELAKSANAKAN PROGRAM-PROGRAM DALAM RANGKA MISI BAZ KUKAR 2009-2011

1. GERBANG DAYAKU.
2. PERDA NO. 09 TAHUN 2008 TTG PENGELOLAAN ZAKAT DI KUTAI KARTANEGARA.
3. SK BUPATI KUKAR NO. 180.188/HK-570/2008 TTG PEMBENTUKAN UPZ PADA INSTANSI PEMERINTAH DAN SWASTA.
4. SK BUPATI KUKAR NO. 180.188/HK-583/2008 TTG PENETAPAN BESARAN ZAKAT, INFAQ DAN SODAQOH DI KUKAR TH. 2008.















INDIKATOR TERCAPAINYA VISI BAZ KUKAR 2009-2011

No. Aspek 2009 2010 2011
1. % Mustahiq yang diakses 20 30 65
2. % Muzakki yg berzakat 20 35 65
3. % Pokmas yang dibantu 10 30 50
4. % Bagunan yang dibantu 10 25 60
5. % Usaha produktif yang dibantu 25 35 60
6. % Lembaga Sosial yang dibantu 25 35 60
7. % Rumah ibadah yang dibantu di Kab. Kukar 25 40 60
Indikator inilah yang harus dipertanggung-jawabkan kepada publik, pada saat Pengurus BAZ Periode 2009-2011 mengakhiri masa tugasnya.

GAMBARAN KINERJA BAZ KUKAR 2009-2011

MOTO : MENINGKATNYA JUMLAH MUZAKKI, SEIRING DENGAN MENURUNNYA JUMLAH MUSTAHIQ.

2009 2010 2011
MUSTAHIQ MUSTAHIQ MUSTAHIQ
MUSTAHIQ MUSTAHIQ MUSTAHIQ
MUSTAHIQ MUSTAHIQ MUZAKKI
MUSTAHIQ MUSTAHIQ MUZAKKI
MUSTAHIQ MUZAKKI MUZAKKI
MUSTAHIQ MUZAKKI MUZAKKI
MUZAKKI MUZAKKI MUZAKKI
MUZAKKI MUZAKKI MUZAKKI
MUZAKKI MUZAKKI MUZAKKI
Dengan asumsi : Pertambahan penduduk dan perkembangan ekonomi konstan








SEKIAN DAN TERIMAKASIH








KEPUTUSAN BUPATI KUTAI KARTANEGARA
NOMOR 180.188/HK-36/2008 TANGGAL 28 JANUARI 2009
TENTANG PEMBENTUKAN PENGURUS BADAN AMIL ZAKAT
PERIODE TAHUN 2009-2011 DI KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA.

A. BADAN PERTIMBANGAN

Ketua : BUPATI KUTAI KARTANEGARA
Wakil Ketua I : KEPALA KANTOR DEP. AGAMA KUKAR
Wakil Ketua II : ASS. KESEJAHTERAAN & PROTOKOL SETKAB KUKAR (Ass.IV)
Sekretaris : H. Saberah, S.Ag.,MM
Anggota : 1 K. H. Abd. Wahab Sya’rani
2 H. Iskandar Usat.
3 Drs. H. Aminuddin Edy, MM
4 Drs. H. Masyar Nawawi,SH.


B. BADAN PELAKSANA

1 Ketua : H. E. Mugnidin, B.Sc.
2 Wakil Ketua I : Drs. H. Hormansyah
3 Wakil Ketua II : H. Supriyanto, S.Sos., M.Si.
4 Sekretaris : Drs. H. Lalu Abdul Hamid
5 Wakil Sekretaris I : Hamlan Mi’raji, S.Ag.
6 Wakil Sekretaris II : E. A. M. Wahidin
7 Bendahara : Drs. H. E. Hanafiah, MM
C. SEKSI-SEKSI
a. Seksi Pengumpulan
Koordinator Drs. H. Idar Jafar
Anggota 1 H. Abdul Sani Effendi
2 Ir. H. Chairul Anwar, MM
3 H. A. Syaiful Anwar, SE.,MM
4 Drs. H. Abdurrahman. K.
5 Drs. H. Djuremi
6 Abdul Kadir
b. Seksi Distribusi
Koordinator Drs. Mahfudz
Anggota 1 Mimi Herlina, SE.
2 H. Nasrun
3 H. Arief Effendi
4 Evi Harianto, SE
5 Didik Harianto, S.Ag.
6 H. Mubarak , S.Pd.I.,M.Pd.I
c. Seksi Pendayagunaan
Koordinator H. Darsih Jamin, S.Ag
Anggota 1. Mohammad Noor, SP.
2. Hardian Noor
3. Misran, S.Ag., M.Pd.I
4. Ahmad Riyadi, S.Pd.I.,M.Pd.I
5. Hj.Dayang Salmiyah,S.Sos.
d. Seksi Pengembangan
Koordinator Hazis Husein, S. Kom.
Anggota 1 Ir. H. M. Bisyron Mahmud
2 H. Asran. K., S.Ag.
3. Nur Aini, S.Ag., M.Pd.I.
4. Mustafa Ismail,S.Ag.,M.Si.
5. Mulliansyah, S.Sos.I.
D. KOMISI PENGAWAS
Ketua : H. Syahrul Seman,S.Sos.
Wakil Ketua : Drs. H. Abd Syukur
Sekretaris : Drs. H. E. Baharudin, S.Ag
Anggota 1. Drs. H. Syaiful Anwar.AH., MM
2. H. Diwansyah, SE.
3. Mukrim Hashary, SP.
4. H. Saleh
5. Drs. H. Fachruddin Nata
E. SEKRETARIAT
Ketua : E.A.M.Wahidin.

21 Maret 2009

Kondisi Keluarga Fakir Miskin

ABSTRAK

Kondisi Keluarga Fakir Miskin merupakan penelitian kasus di 17 propinsi yang bertujuan untuk mengetahui karakteristik potensi keluarga fakir miskin. Dari hasil analisis deskriptif yang digunakan dalam penelitian ini terungkap, keluarga fakir miskin mempunyai kemampuan untuk survive dalam berbagai kondisi. Mereka mempunyai strategi yang handal dalam menanggapi goncangan. Walaupun di satu sisi strategi yang dibangun dapat berdampak pada keterlantaran anak.

I. Pendahuluan
A. Latar Belakang

Kemiskinan sebagai suatu fenomena sosial tidak hanya dialami oleh negara negara yang sedang berkembang tetapi juga terjadi di negara yang sudah mempunyai kemapanan di bidang ekonomi. Fenomena ini pada dasarnya telah menjadi perhatian, isu, dan gerakan global yang bersifat kemanusiaan (humanity). Hal ini tercermin dari konferensi tingkat tinggi dunia yang berhasil menggelar Deklarasi dan Program Aksi untuk Pembangunan Sosial (World Summit in Social Development) di Compenhagen pada tahun 1995. Salah satu fenomena sosial yang dipandang perlu penanganan segera dan menjadi agenda Tingkat Tinggi Dunia tersebut adalah kemiskinan, pengangguran, dan pengucilan sosial yang ada di setiap negara. Secara konstitusional, permasalahan dimaksud telah dijadikan perhatian utama bangsa Indonesia sejak tersusunnya Undang-Undang Dasar 1945.

Manifestasi dari komitmen Indonesia dimaksud terlihat dari beberapa lembaga pemerintah maupun swasta yang mempunyai konsentrasi dalam penanganan kemiskinan. Berbagai model penanganan kemiskinan yang telah dijalankan cukup banyak, misalnya Program Kesejahteraan Sosial Kelompok Usaha Bersama Keluarga Muda Mandiri (Prokesos KUBE KMM), Tabungan Kesejahteraan Rakyat (Takesra), Kredit Usaha Kesejahteraan Rakyat (Kukesra), Kredit Usaha Kecil Menengah, Jaring Pengaman Sosial (Social Safety Net Program) dan lain-lain.

Pada dekade 1976-1996, persentase penduduk miskin di Indonesia pernah mengalami penurunan yaitu dari 40,1% menjadi 11,3%, namun pada periode 1996-1998 angka ini menjadi 24,29% atau 49,5 juta jiwa. Bahkan International Labour Organization (ILO) memperkirakan jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 129,6 juta atau sekitar 66,3% (BPS, 1999). Pada tahun 2002, persentase kemiskinan telah mengalami penurunan, namun secara absolut jumlah mereka masih tergolong tinggi, yaitu 43% atau sekitar 15,6 juta (BPS dan Depsos 2002). Diantara angka tersebut, diduga jumlah fakir miskin relatif banyak. Tanpa mengurangi arti pentingnya pembangunan yang sudah dilakukan, angka kemiskinan tersebut mengindikasikan konsep model yang dibangun belum mampu membentuk sosial ekonomi masyarakat yang tangguh.

Beberapa koreksi dari para ahli menunjuk, bahwa salah satu permasalahan yang mendasar adalah orientasi pembangunan ekonomi yang kurang berpihak pada golongan berpenghasilan rendah ekonomi (grass root). Kondisi ni tercermin dari konsentrasi industrialisasi berskala menengah ke atas, sehingga sektor ekonomi yang dijalankan oleh sebagian besar masyarakat kurang diperhitungkan. Menurut catatan Halwani (1999), sebagian besar (98,2%) adalah unit usaha kecil dan industri rumah tangga dengan tenaga kerja sebanyak 3.484.408 orang (63,3%). Industri yang tergolong dalam usaha berskala besar dan sedang (0,8%) dengan tenaga yang terserap sebanyak 1.691.435. (32,7%). Namun jika hasil nilai tambah dari dua jenis kegiatan tersebut diperbandingkan, maka hasil yang diperoleh dari sektor industri kecil masih jauh dari yang harapan yakni sebesar 17,8% (Rp.2,03 trilyun), sedangkan industri berskala besar (0,8%) telah memberikan nilai tambah Rp.9,35 trilyun (82,2%).

Dalam kerangka penanggulangan kemiskinan tersebut, hampir semua kajian masalah kemiskinan berporos pada paradigma modernisasi (the modernisation paradigm) dan the product cantered model yang kajiannya didasari teori pertumbuhan ekonomi capital dan ekonomi neoclasic ortodox (Elson, 1977, Suharto, 2002). Secara umum, pendekatan yang dipergunakan lebih terkonsentrasi pada individual poverty sehingga aspek structural and social poverty menjadi kurang terjamah. Dalam Suharto (2002) dikemukakan: In its standardised conception of poverty, for example, the poor are seen almost as passive victims and subjects of investigation rather than as human beings who have something to contribute to both the identification of their condition and its improvement. Beberapa pendekatan dimaksud tercermin dari tolok ukur yang digunakan untuk melihat garis kemiskinan pada beberapa pendekatan seperti Gross National Product (GNP), Human Development Index (HDI) dan Human Poverty Index (HPI), Social Accounting Matrix (SAM), Physical Quality of Life Index (PQLI).

Berdasar uraian di atas dapat dikemukakan, bahwa dalam mengatasi masalah kemiskinan diperlukan kajian yang menyeluruh (comprehensif), sehingga dapat dijadikan acuan dalam merancang program pembangunan kesejahteraan sosial yang lebih menekankan pada konsep pertolongan. Pada konsep pemberdayaan, pemberdayaan dapat diartikan sebagai upaya untuk menolong yang lemah atau tidak berdaya (powerless) agar mampu (berdaya) baik secara fisik, mental dan pikiran untuk mencapai kesejahteraan sosial hidupnya. Dalam konteks ini, mereka dipandang sebagai aktor yang mempunyai peran penting untuk mengatasi masalahnya. Menurut Mujiyadi B. dan Gunawan (2000), pemberdayaan merupakan suatu proses peningkatan kondisi kehidupan dan penghidupan yang ditujukan kepada masyarakat miskin.

Masyarakat miskin merupakan sumber daya manusia yang berpotensi untuk berpikir dan bertindak yang pada saat ini memerlukan “penguatan” agar mampu memanfaatkan daya (power) yang dimiliki. Uraian ini mengisyaratkan, bahwa langkah awal dalam penanganan masalah kemiskinan (keluarga fakir miskin) perlu diidentifikasi potensi yang mereka miliki. Permasalahannya adalah bagaimana karakteristik potensi yang dimiliki oleh masyarakat miskin.

B. Tujuan

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui

1. Kemampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan dasar

2. Kemampuan keluarga dalam melaksanakan tanggung jawab dan peranan sosialnya

3. Strategi keluarga dalam menghadapi permasalahan

C. Konsep

Secara harafiah, kemiskinan berasal dari kata dasar miskin diberi arti “tidak berharta-benda” (Poerwadarminta, 1976). Dalam pengertian yang lebih luas, kemiskinan dapat dikonotasikan sebagai suatu kondisi ketidak-mampuan baik secara individu, keluarga maupun kelompok, sehingga kondisi ini rentan terhadap timbulnya permasalahan sosial yang lain.

Berbagai sudut pandangan tentang pengertian kemiskinan, pada dasarnya dapat dikelompokkan ke dalam tiga bentuk, yakni kemiskinan struktural, kemiskinan relatif dan kemiskinan absolut. Dari ketiga sudut pandang tersebut, penulis membatasi diri dan lebih menekankan pada kemiskinan absolut, karena pemahaman dari bentuk kemiskinan ini relatif lebih mengena dalam konteks fakir miskin. Menurut Ginanjar (1997), kemiskinan absolut adalah kondisi kemiskinan yang terburuk yang diukur dari tingkat kemampuan keluarga untuk membiayai kebutuhan yang paling minimal untuk dapat hidup sesuai dengan martabat hidup sesuai dengan martabat kemanusiaan. Menurut Nasikun (1995), kondisi yang sesungguhnya harus dipahami mengenai kemiskinan :

“Kemiskinan adalah sebuah fenomena multifaset, multidimensional, dan terpadu. Hidup miskin bukan hanya berarti hidup di dalam kondisi kekurangan sandang, pangan, dan papan. Hidup dalam kemiskinan seringkali juga berarti akses yang rendah terhadap berbagai ragam sumberdaya dan aset produktif yang sangat diperlukan untuk dapat memperoleh sarana pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup yang paling dasar tersebut, antara lain: informasi, ilmu pengetahuan, teknologi dan kapital. Lebih dari itu, hidup dalam kemiskinan sering kali juga berarti hidup dalam alienasi, akses yang rendah terhadap kekuasaan, dan oleh karena itu pilihan-pilihan hidup yang sempit dan pengap”.

Pandangan ini mengisyaratkan, bahwa permasalahan kemiskinan tidak hanya berdiri sendiri, sehingga dalam penanggulangannya menuntut pemahaman, kecermatan dan kehati-hatian. Di dalam diri masyarakat miskin tidak hanya terdapat kelemahan (kondisi serba kekurangan), tetapi dalam diri mereka juga terdapat potensi yang dapat dipergunakan sebagai modal dasar dalam pengembangan dirinya. Kondisi ini mengisyaratkan bahwa program penanggulangan kemiskinan harus mampu mengakomodasikan kedua aspek tersebut. Menurut Koenraad Verhagen, (1996), melebih-lebihkan kemiskinan kita cenderung melupakan apa yang mereka miliki. Orang-orang miskin bukanlah orang-orang yang “tidak memiliki” (havenot). Dari sudut pandang ekonomi mereka adalah orang-orang yang memiliki sedikit” (have-little) di sisi lain orang-orang miskin memiliki kekayaan budaya dan sosial. Berkaitan dengan pandangan ini, Gunawan Sumodiningrat (1977) mengemukakan, bahwa strategi untuk memberdayakan masyarakat terdapat tiga hal yang harus dilakukan yaitu: (1) Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang; (2) memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering); dan (3) Pemberian perlindungan, dalam proses pemberdayaan harus dicegah yang lemah menjadi lebih lemah.

Berdasar uraian di atas dapat dikemukakan, bahwa dalam konteks penanggulangan kemiskinan, mereka tidak hanya didekati sebagai objek (gejala yang diamati), tetapi harus dipandang sebagai subjek atau pelaku yang dikelompokkan dalam golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah (GMBR). Mereka adalah pelaku yang berperan sepenuhnya untuk menetapkan tujuan, mengendalikan sumber daya, mengarahkan proses yang mempengaruhi kehidupannya. Oleh karena itu, dalam kerangka memahami potensi keluarga miskin, paling tidak terdapat tiga bentuk potensi yang diamati, yakni:

1. Kemampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar,

Tinjauan tentang kemampuan dalam memenuhi kebutuhan akan dilihat dari aspek (1) pengeluaran keluarga, (2) human capital atau kemampuan menjangkau tingkat pendidikan dasar formal yang ditamatkan, dan (3) security capital atau kemampuan menjangkau perlindungan dasar.

2. Kemampuan dalam pelaksanaan peran sosial

Tinjauan tentang kemampuan peran sosial akan dilihat dari (1) kegiatan utama dalam mencari nafkah, (2) peran dalam bidang pendidikan, (3) Peran dalam bidang perlindungan, dan (4) peran dalam bidang kemasyarakatan.

3. Kemampuan dalam menghadapi permasalahan.

Tinjauan tentang kemampuan dalam menghadapi permasalahan, akan dilihat dari upaya mereka lakukan untuk mempertahankan diri dari tekanan ekonomi dan non ekonomi

D. Metode

Kondisi Keluarga Fakir Miskin, merupakan penelitian yang bersifat deskriptif yang bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang potensi keluarga fakir miskin. Pemilihan lokasi ditentukan secara purposif di beberapa daerah yang diperkirakan mempunyai kantong kemiskinan. Lokasi penelitian yang dipilih adalah DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Banten, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, dan Maluku Utara.

Jumlah responden pada setiap lokasi 20 responden. LSM dan Aparat Pemerintah yang menangani kemiskinan diambil secara purposif minimal 5 orang perwakilan untuk mendapatkan gambaran efektivitas program anti kemiskinan dan harapan di masa mendatang. Teknik pengumpulan data yang dipergunakan adalah: (1) Wawancara untuk responden keluarga miskin; (2) Focussed Group Discussion (Diskusi Kelompok Terfokus) untuk berbagai unsur terkait (aparat pemerintah lokal, dinas terkait, tokoh masyarakat dan Lembaga Swadaya Masyarakat yang ada di daerah setempat); dan (3) Studi Dokumentasi, dengan mempelajari buku dan atau literatur, hasil-hasil penelitian, catatan tertulis dan sebagainya yang relevan dengan tujuan penelitian studi kasus ini.

Adapun untuk mengetahui (1) Kemampuan dalam pelaksanaan peran sosial dan (2) Kemampuan dalam menghadapi permasalahan digunakan teknik scoring (penilaian). Penentuan nilai berdasar dari frekuensi peran yang dilaksanakan. Ketentuan penilaian dimaksud adalah: tidak pernah (skor 1) kadang-kadang (skor 2) dan sering (skor 3). Responden yang memiliki mean mendekati skor 3 adalah tinggi dan skor jawaban yang mendekati angka 1 adalah rendah.

II. Hasil Penelitian
A. Karakteristik Responden

Berdasar data dan informasi yang terhimpun dari penelitian ini dapat dikemukakan, bahwa 221 responden masyarakat terdiri dari 67,5% responden pria dan 32,5% wanita. Angka ini mengindikasikan, bahwa peran penting dari keluarga fakir miskin untuk kontribusi dalam penelitian ini lebih didominasi oleh pria. Kondisi ini terjadi karena eksistensi seorang bapak sebagai kepala keluarga mempunyai peran publik lebih besar dibanding pria. Sebagian besar responden (88,8%) berstatus kawin, sisanya adalah janda (6,3%) belum kawin (3,1%) dan duda (1,9%).

Dari segi usia, sebagian besar (72,59%) responden dalam kategori usia produktif. Rata-rata responden berusia 40 tahun dengan sebaran antara 26 tahun sampai dengan 50 tahun. Sedangkan sisanya (27,41%) berusia di atas 50 tahun. Sebagian besar dari mereka bekerja sebagai buruh dan nelayan kecil (56,71%) sedangkan sisanya bekerja di sektor lain. Hasil yang mereka peroleh untuk memenuhi kebutuhan anggota keluarganya yang rata-rata adalah 5 orang tiap keluarga.

B. Kemampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar

Tinjauan tentang pengeluaran keluarga, dalam penelitian ini digunakan ketentuan Biro Pusat Statistik (BPS). Dalam ketentuan BPS (2002) disebutkan, bahwa Garis Fakir Miskin (GFM) dilihat dari pengeluaran sebesar Rp.91.192,00,- per kapita per bulan atau GFM keluarga (5 jiwa) sebesar Rp.460.960,-. Berdasar ketentuan ini, maka angka yang diperoleh dari penelitian ini mengindikasikan bahwa keluarga respoden tergolong dalam kategori di bawah garis kemiskinan. Rata-rata pengeluaran keluarga responden per bulan sebesar Rp.386.570,-. Jika rata-rata tiap keluarga berjumlah 5 orang, maka pengeluaran per kapita per bulan adalah sebesar Rp.77.314,-.

Angka ini menunjukkan, bahwa rata-rata pengeluaran setiap/hari hanya sebesar Rp.2.600,- atau Rp.13.000 per keluarga. Jika hanya mendasarkan pada angka tersebut, maka kondisi ini dapat diinterpretasikan, bahwa sebagian besar pengeluaran lebih terkonsentrasi untuk makan sehari-hari dan itupun masih relatif kurang memenuhi standard. Hal ini sangat dimungkinkan terjadi karena hasil yang diperoleh dari pekerjaan mereka (buruh dan nelayan kecil) relatif rendah.

Jenis pekerjaan yang menjadi pilihan mereka diduga mempunyai keterkaitan dengan rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan sehingga untuk mengakses peluang pekerjaan yang lebih baik relatif sulit. Ditinjau dari aspek pendidikan, sebagian besar (69,4%) responden berpendidikan rendah (SD ke bawah). Secara rinci dapat dikemukakan sebagai berikut: mereka yang Tidak sekolah (1,2%), Tidak Tamat SD (27,2), Tamat SD sebesar 41,0%, Tamat SLTP (19,3%), Tamat SLTA (10,5%), dan tamat Perguruan Tinggi (0,7%). Realitas ini menunjukkan, bahwa kualitas pendidikan sumber daya manusia keluarga fakir miskin masih jauh dari standard (ketentuan pemerintah dalam bentuk wajib belajar 9 tahun).

Di sisi lain, beberapa program yang telah sampai kepada mereka belum dapat meningkatkan pendapatan keluarga secara maksimal. Hal ini tercermin dari sebagian besar (80%) peserta diskusi terfokus menyatakan “program peningkatan pengetahuan dan keterampilan dalam kategori rendah”, sedang untuk peningkatan pendapatan dinyatakan sedang”. Alasannya adalah “hampir semua program kurang memberikan bimbingan keterampilan yang memadai, bahkan terdapat beberapa program yang tidak mengalokasikan dana untuk kegiatan bimbingan keterampilan karena sesuai dengan sifat bimbingan program yang berorientasi pada pencegahan.

Berdasar angka dan uraian di atas dapat diinterpretasikan, bahwa kemampuan mereka untuk keluar dari permasalahan kemiskinan relatif sulit. Pada kasus ini, pendapatan (hasil), keterampilan dan pendidikan yang rendah merupakan suatu mata rantai. Keduanya saling berkaitan dan saling berpengaruh. Sebagai ilustrasi dapat dikemukakan pandangan dari Jalaludin Rachmat (1999), bahwa produktivitas yang rendah, pendapatan yang rendah menyebabkan pendidikan rendah. Pendidikan yang rendah mengakibatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang rendah. Kualitas SDM yang rendah menyebabkan produktivitas yang rendah dan terus begitu. Rangkaian tersebut sering disebut sebagai vicious circle atau lingkaran setan kemiskinan.

Ditinjau dari aspek kepemilikan tempat tinggal atau rumah, sebagian besar (77,1%) keluarga telah memiliki rumah sendiri. Selebihnya 14,8% keluarga masih menumpang dan 5,5% keluarga menempati rumah sewa atau kontrakan. Meskipun dari aspek pengeluaran mereka tergolong dalam kategori di bawah garis kemiskinan, ternyata mereka telah mampu menjangkau perlindungan dasar (security capital). Hal ini tentunya terlepas dari kondisi memadai atau tidaknya rumah yang mereka tempati. Sebagai ilustrasi, masih banyak dijumpai tempat tinggal yang berlantai tanah, sulit menjangkau air bersih, dan kondisi yang lebih memprihatinkan adalah masih dijumpai tempat tinggal yang tidak memiliki pemisah antara orang dengan ternak yang mereka pelihara.

Dari realitas di atas, pertanyaannya adalah, mengapa eksistensi mereka masih tetap bertahan hidup dalam berbagai kondisi termasuk dalam kondisi krisis sekalipun. Kondisi ini mengindikasikan bahwa sekecil apapun mereka mempunyai potensi untuk survive. Mereka pada dasarnya bukan masyarakat yang malas bekerja. Mobilitas pekerjaan yang relatif tinggi telah menuntut alokasi waktu mereka untuk bekerja rata-rata lebih dari 10 jam. Hal ini terlihat dari alokasi waktu 38,10% responden untuk mencari penghasilan tambahan. Jenis pekerjaan untuk memperoleh penghasilan tambahan cukup bervariasi, antara lain bekerja sebagai buruh, pedagang, peternak, pengrajin, tukang kayu, nelayan dan jasa. Di sisi lain, dalam komunitas mereka mempunyai solidaritas yang relatif kuat. Hal ini ditunjukkan dari kegiatan tolong menolong di antara mereka.

C. Kemampuan dalam Pelaksanaan Peran Sosial

Pokok bahasan tentang peran sosial keluarga fakir miskin pada dasarnya dapat dikelompokkan dalam empat kategori, yaitu: (a) Peran dalam bidang ekonomi (b) Peran dalam bidang pendidikan (c) Peran dalam perlindungan (d) Peran dalam kemasyarakatan. Tinggi rendahnya kemampuan seseorang dalam pelaksanaan peran sosial dilihat dari frekuensi peran yang dilaksanakan. Berdasar hasil skoring dari jawaban responden yang terhimpun dapat dikemukakan, bahwa nilai kumulatif peran sosial responden tergolong dalam kategori tinggi, yakni 2,45. namun jika ditelusuri dari masing masing peran yang dimainkan, ada salah satu peran yang tergolong dalam kategori rendah (1,57) yakni pelaksanaan peran sosial mereka dalam kemasyarakatan. Secara numerik, rincian dari hasil skoring pada masing-masing peran sosial dimaksud dapat dikemukakan sebagai berikut:

Peran keluarga fakir miskin dalam bidang ekonomi yang dilihat dari kegiatan utama dalam mencari nafkah memperoleh skor 2,88. Peran dalam pendidikan (pelaksanaan ibadah atau membimbing keluarga; menanamkan nilai dan norma; mendorong pendidikan keluarga; mengerjakan kegiatan kerumah-tanggaan; mengasuh anak dan mendampingi anak belajar) secara kumulatif memperoleh skor sebesar 2,70, Peran dalam perlindungan (melindungi keluarga, turut memecahkan masalah keluarga, dan turut serta memelihara kesehatan keluarga) memperoleh skor 2,64. Sedangkan skor yang diperoleh responden dalam pelaksanaan peran sosial kemasyarakatan tergolong rendah yaitu 1,57.

Secara numerik, angka di atas menunjukkan bahwa peran sosial yang dilaksanakan oleh keluarga fakir miskin lebih banyak bersifat intern. Atinya lebih banyak terkonsentrasi dalam urusan keluarga. Kepala keluarga lebih banyak mengalokasikan waktunya untuk mencari nafkah, pendidikan dan perlindungan keluarga. Rendahnya skor responden dalam pelaksanaan peran sosial kemasyarakatan kurang terintegrasi dalam kehidupan keluarga. Mereka tidak begitu aktif untuk melakukan kunjungan keluarga, rekreasi, dan kegiatan lain yang berkaitan dengan kelembagaan. Kegiatan ini tidak dijadikan sebagai kegiatan prioritas. Menurut Sunyoto Usman (1998) dalam pendekatan perspektif kultural mendekati masalah kemiskinan pada analisis tingkat masyarakat, kemiskinan terutama ditunjukkan oleh tidak terintegrasinya kaum miskin dengan institusi-institusi masyarakat secara efektif.

Kenyataan ini merupakan suatu fenomena yang umum terjadi pada keluarga miskin. Kondisi ini dapat dipahami mengingat kegiatan mencari nafkah merupakan kegiatan utama yang masih perlu diperjuangkan demi keberlangsungan hidup keluarga. Besarnya tuntutan kebutuhan keluarga membutuhkan konsentrasi lebih besar sehingga waktu mereka lebih banyak dihabiskan untuk mencari nafkah dan mengatasi permasalahan yang dihadapi.

D. Strategi Menghadapi Permasalahan Keluarga.

Strategi keluarga fakir miskin dalam menghadapi permasalahan keluarga, merupakan salah satu indikator variabel potensi mereka. Dalam konteks ini kemiskinan tidak hanya dipandang sebagai sesuatu yang statis, tetapi mempunyai dinamika sesuai dengan tantangan dan perubahan sosial. Walaupun sebagian dari responden penelitian ini menanggapi permasalahan keluarga dengan penuh kepasrahan, kesabaran yang terkesan sebagai sikap apatis pasif.

Dalam tata kehidupan dan penghidupan masyarakat, setiap keluarga tidak akan terlepas dari permasalahan (goncangan dan tekanan). Permasalahan yang dimaksud di sini dapat berupa permasalahan ekonmomi maupun sosial. Dari uraian terdahulu telah dikemukakan bahwa keluarga fakir miskin mempunyai potensi untuk survive dalam berbagai kondisi. Dinamika dan mobilitas mereka dalam pekerjaan relatif tinggi. Dalam rangka menanggapi goncangan dan tekanan (shock and stress), pada dasarnya mereka mempunyai mereka mempunyai strategi yang cukup handal. Menurut Edi Suharto (2003) mereka adalah manajer dengan seperangkat aset yang ada di seputar diri dan lingkungannya.

Berdasar dari data yang terhimpun melalui penelitian ini terungkap cukup banyak strategi yang dipergunakan keluarga fakir miskin dalam menghadapi permasalahannya. Bentuk-bentuk strategi dimaksud dapat dikemukakan sebagai berikut:

1. Optimalisasi sumber daya manusia (SDM)

Strategi yang mengoptimalkan segala potensi keluarga untuk peningkatan penghasilan karena tuntutan hidup yang semakin besar. Berbagai bentuk strategi yang dibangun oleh keluarga fakir miskin antara lain: melakukan aktivitas sendiri, memperpanjang jam kerja, memanfaatkan atau mengerahkan anggota keluarga untuk memperoleh penghasilan. Berdasar hasil skoring, strategi ini memperoleh nilai 2,70. Secara numerik angka ini menunjukkan, bahwa strategi dimaksud sering dilakukan. Bahkan dalam strategi ini, sebagian dari mereka adalah anak yang masih duduk di bangku sekolah. Jika rata-rata dalam keluarga mempunyai 5 orang anggota, maka kondisi ini merupakan potensi yang relatif besar untuk mengakses uang.
Di satu sisi, strategi pelibatan anak dalam peran ekonomi ini akan memupuk kemampuan anak untuk membaca peluang ekonomi. Mereka akan lebih mampu memanfaatkan situasi dan kondisi untuk mengakses uang. Namun di sisi lain, strategi ini akan berdampak pada pemenuhan kebutuhan hak anak terutama hak untuk memperoleh pendidikan. Sebagian besar waktu yang seharusnya untuk belajar mereka pergunakan untuk bekerja atau membantu keluarga dalam peran ekonomi. Akibat lanjut, kualitas pendidikan anak-anak mereka relatif rendah. Sadar ataupun tidak, pemanfaatan strategi ini dapat dikonotasikan sebagai suatu jebakan kemiskinan.

2. Penekanan/pengetatan pengeluaran

Penekanan/pengetatan pengeluaran merupakan strategi yang bersifat pasif, yaitu mengurangi pengeluaran keluarga (misalnya pengeluaran biaya untuk sandang, pangan, biaya sosial, transportasi, kesehatan, pendidikan, dan kebutuhan sehari-hari lainnya. Secara kumulatif hasil skoring terhadap strategi ini memperoleh nilai 2,76. Angka ini dapat diterjemahkan, bahwa mereka sering menekan biaya pengeluaran dan menghindari resiko.
Dalam kerangka penekanan/pengetatan pengeluaran, seringkali mereka mengabaikan kebutuhan pelayanan untuk kesehatan. Walaupun mereka telah mempunyai kartu sehat dari Dinas Kesehatan. Pengurangan pengeluaran biaya kesehatan lebih banyak dilakukan, karena kesehatan tidak menjadi prioritas utama mereka. Perhatian mereka lebih terfokus kepada kegiatan yang berhubungan dengan pencarian nafkah.

3. Pemanfaatan jaringan

Strategi pemanfaatan jaringan, merupakan salah satu upaya yang ditempuh oleh keluarga fakir miskin dalam mengatasi masalah keluarga. Jaringan yang dimaksud adalah relasi sosial mereka, baik secara informal maupun formal dengan lingkungan sosialnya dan lingkungan kelembagaan. Pemanfaatan jaringan ini terlihat jelas dalam mengatasi masalah ekonomi dengan pinjam uang kepada tetangga, mengutang ke warung terdekat, memanfaatkan program anti kemiskinan, bahkan ada yang pinjam uang ke rentenir atau bank dan sebagainya).
Secara numerik, skor yang diperoleh dari pemanfaatan jaringan (2,57). Angka ini menunjukkan, bahwa mereka sering meminta bantuan kepada relasi sosialnya terutama kepada teman sekerja atau tetangga. Kondisi ini menunjukkan, bahwa di antara mereka mempunyai solidaritas yang kuat dan saling percaya. Tampaknya teman merupakan tumpuan untuk memperoleh pertolongan dan sebagai tempat pertama yang akan dituju apabila mereka mengalami masalah. Relasi mereka tidak hanya sebatas di bidang ekonomi, tetapi mencakup bidang-bidang yang lain, misalnya dalam peningkatan mental spiritual. Kegiatan ini merupakan strategi yang bersifat aktif untuk memperoleh dukungan emosional.

III. Kesimpulan dan Saran
A. Kesimpulan

Dari segi kuantitas, jumlah keluarga miskin yang relatif banyak merupakan potensi besar bagi pembangunan nasional. Berbagai upaya yang telah ditempuh keluarga fakir miskin telah cukup banyak. Jumlah anggota keluarga yang relatif besar (rata-rata 5 orang) dan setiap anggota keluarga dapat berperan dalam kegiatan ekonomi, namun realitas perekonomiannya masih tetap sulit berkembang (statis) dan cenderung terkesan apatis, dan pasrah pada nasib. Solidaritas di antara mereka (baik dalam mengatasi permasalahan sosial dan ekonomi) merupakan potensi besar untuk pencegahan terhadap munculnya permasalahan sosial lain yang lebih besar, sehingga mereka tetap mampu bertahan dalam berbagai kindisi yang serba sulit.
B. Saran

Upaya penanggulangan kemiskinan hingga saat ini telah banyak dilakukan terutama sejak Indonesia mengalami krisis ekonomi dan moneter semakin menggema dan dikenal masyarakat luas, bahkan dicari sebagian masyarakat untuk dapat menikmati program anti kemiskinan. Penyelesaian suatu masalah secara lebih strategik biasanya tidak kasatmata dan memerlukan waktu. Dalam kerangka optimalisasi program penanggulangan kemiskinan, perlu mengakomodasikan potensi keluarga miskin yang acapkali terabaikan.